Selasa, 15 Januari 2019

"PERINSIP KERJA HIGH DAMPING DEVICE" (Universitas Gunadarma Review )


"PERINSIP KERJA HIGH DAMPING DEVICE" (Universitas Gunadarma Review )


Haii teman teman pembaca blog saya, kali ini saya akan menjelaskan tentang suatu teknologi dalam meredam gempa, teknologi yang saya akan bahas kali ini adalah prinsip kerja high damping device untuk meredam kekuatan gempa bagi gedung bertingkat.
High damping device adalah Perangkat redaman tinggi jenis silinder hidrolik di mana bagian silinder atau bagian batang piston terhubung ke rangka struktur dan bagian lainnya terhubung ke elemen penahan gempa yang diintegrasikan secara integral ke rangka. Sejumlah lorong melalui piston menghubungkan ruang hidrolik di sisi berlawanan dari piston. Bagian-bagian dilengkapi dengan katup yang mengatur tekanan yang mengontrol aliran oli antara ruang hidrolik. Selain itu, sistem akumulator menyediakan jalan pintas untuk oli mengalir di antara silinder hidrolik untuk memodulasi tekanan oli di perangkat redaman. Katup pelepas disediakan secara paralel dengan katup pengatur tekanan untuk memberikan koefisien redaman variabel yang melindungi perangkat redaman dari beban berlebih yang disebabkan oleh kejutan seismik yang berlebihan.
Jepang adalah salah satu negara yang sering dilanda gempa, sehingga para engineer di jepang dituntut untuk dapat mengatasi kerusakan bangunan akibat guncangan gempa sehingga mengurangi korban jiwa dan materi. Alat peredam gempa ini adalah hasil penelitian dan pengembangan laboraturium Kobori, afiliasi perusahaan kontraktor Kajima. Di Jepang sendiri, alat ini berhasil diaplikasikan pada gedung-gedung tinggi dan struktur khusus lainnya.

Gambar High Damping Device
Untuk HiDAM pada bagian struktur atas sebagai respon pasif juga mulai banyak diaplikasikan. Sekilas mengenai prinsip kerja HiDAM, secara umum hampir sama dengan FVD taylor device . Yakni kedua alat ini sama-sama menggunakan prinsip viskositas dalam menciptakan gaya redaman. Mengenai prinsip kerja HiDAM, secara umum hampir sama dengan FVD taylor device . Yakni kedua alat ini sama-sama menggunakan prinsip viskositas dalam menciptakan gaya redaman, Mekanisme kerja ini, dianalogikan seperti suspensi atau shock absorbser pada mobil, yang digunakan untuk mengatur pergerakan pegas di posisi tumpuan. gaya redaman akan sama dengan nol pada saat defleksi maksimum, karena kecepatan stroke sama dengan nol dan kemudian berbalik arah. Saat kolom berbalik arah ke posisi semula, akan menyebabkan menjadikan kecepatan stroke menjadi maksimum atau gaya redamannya menjadi maksimum. Pada posisi kolom normal, tegangan kolom adalah minimum. Gaya redaman yang dibutuhkan relatif kecil, dibandingkan gaya yang dipikul pegas, akibat beban kendaraan dan beban guncangan, berdasarkan hasil penelitian terhadap alat peredam gempa HiDAM ini, rasio redaman struktur, mampu ditingkatkan oleh HiDAM pada kisaran 10 – 20 %. Angka ini, sangat signifikan dalam mengurangi respon struktur terhadap gempa dan kerusakan bangunan, serta telah memenuhi kriteria konvensional gempa di Jepang.

Gambar High Damping Device Pada Gedung
Daftatar Pustaka:



Minggu, 06 Januari 2019

Arbritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi


PENGATURAN PENATAAN RUANG DALAM UU NO. 24/1992

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.            Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UULH No. 4/1982 menyatakan, bahwa wewenang pengaturan sebagaimana tersebut dalam ayat (3) batang tubuh UULH meliputi antara lain tatanan ruang yang merupakan sistem pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dan fungsi mencapai keserasian dan keseimbangan, setelah UU No. 4/1982 diganti dengan UU. No. 23/1997 pengaturan penataan ruang ini dapat diinterpretasikan dari Pasal  2, 3, 4, 8, 9, 10, 11, dan 12
2.            Penataan ruang sebagaimana yang dimaksud di atas tersebut di atas diselenggarakan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pasal 1 butir 3 UUPLH No. 23/1997 menyatakan, bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan LH, termasuk seumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
3.            Sebagai tindak lanjut ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 4/1982 (yang telah digantikan oleh UU. No. 23/1997) tersebut, yaitu pelaksanaan wewenang pengaturan tata ruang, telah diundangkan pada tanggal 13 Oktober 1992, Undang‑undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang  (UUPR).
4.            Salah satu pertimbangan ditetapkannya UUPR adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber‑daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Dengan diundangkannya UUPR, maka Stadsvormingsordonnantie 1948 (beserta Stadsvormingsverordening 1949) dinyatakan tidak berlaku lagi.
5.            Pasal 4 ayat (1) UUPR menyatakan, bahwa setiap orang berhak, menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pengertian orang ini adalah sama dengan pengertian orang sebagimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4/1982 (UULH UU No. 23/1997 Pasal 1 point 24). selanjutnya penjelasan ayat ini menyatakan, bahwa pemerintah berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang.

WEWENANG PENGELOLA DALAM PERENCANAAN KOTA

Menurut Prajudi Atmosudirjo membedakan pengertian-pengertian kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani surat-surat izin seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri.
Adapun yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdapat dalam Pasal 10, yang berbunyi:
1.            Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a.      Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
b.      Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi
c.      Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan
d.      Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
2.            Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.      Perencanaan tata ruang wilayah provinsi
b.      Pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan
c.      Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
3.            Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a.      Penetapan kawasan strategis provinsi
b.      Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c.      pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d.      pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4.            Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5.            Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6.            Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a.      menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1)     rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2)     arahan peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3)     petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b.      melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7.            Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standard pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Sumber:

Aspek Penataan Ruang dan Perijinan untuk melaksanakan Proyek Pembangunan


KONSEP DASAR PENATAAN RUANG

Konsep penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat.
Penyusuanan rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.            Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional
2.            Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional
3.            Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi
Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
1.            Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
2.            Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
3.            Rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
4.            Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan 
5.            Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 
Tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yaitu:
1.            Mewujudkan wilayah nasional yang aman, maksudnya situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman.
2.            Mewujudkan wilayah nasional yang nyaman, yakni suatu keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan (berperan mewujudkan atau mengaktualisasikan sesuatu dalam kehidupannya secara nyta) nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
3.            Mewujudkan wilayah nasional yang produktif, maksudnya proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
4.            Mewujudkan wilayah nasional yang berkelanjutan, maksudnya kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya SDA tak terbarukan.

ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG

Pengaturan kebijakan tata ruang secara operasional dapat dilihat pada GBHN yang pada masa sekarang GBHN 1999 pada pengaturan persoalan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (pada GBHN selanjutnya juga ditemukan istilah Tata Ruang). Pada prinsipnya sebetulnya kebijakan tentang penataan ruang di Indonesia, khususnya pada  masa Orde Baru, telah dilaksanakan secara programatik. Dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dikembangkan pembinaan tata ruang melalui kegiatan:
1.            Tata guna tanah, yakni pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah
2.            Tata kota dan daerah, yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah; dan
3.            Tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah.

HUBUNGAN ANTARA ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PROYEK

Ruang merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tata ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik, diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Jadi, Penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan UUBG pasal 26
Ayat (1)
menerangkan bahwa izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata banguna yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku. Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang mempunyai bukti hukum sah berupa perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak lain.
Atas dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin terlebih dahulu karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b UUBG).
Menurut Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005, permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan;
Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah; Data pemilik bangunan gedung; Rencana teknis bangunan gedung; dan Hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
Lalu apa yang bisa terjadi kalau pemilik tidak memiliki ijin?  Pemilik rumah dapat dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).
Tetapi bagaimana jadinya jika ternyata gedung tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di bangun. Maka peraturan yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG
Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:
“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”

Sumber:

http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-nasional.html

Aspek Agraria dalam Pembangunan

Aspek Agraria dalam Pembangunan

MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

   
            Disusun Oleh :
1.     Arif Tri Kusuma                      (10315998)
2.     Michaell Ezra Sitompul          (14315167)
3.     M. Rizki Trinanda                   (14315419)
4.     Randy Satria. A. P                  (15315645)
5.     Ubaidillah                               (16315966)
6.     Yana Anggraeni                      (17315213)
 
           Kelompok / Semester       :  V / VII
           Dosen Pembimbing          :  Efa Wahyuni, SE.
           Kelas                                : 4TA02
 
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK  SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
  2018  


ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN 
 

2.2        ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria. Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanahSebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantumdalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung :tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) Sebagai Hukum Agraria Nasional
1.        Sifat Nasional UUPA
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria diIndonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuat program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi sebagai berikut.
a.     Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;
b.      Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c.      Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
d.      Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenaldengan program landreform;
e.   Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
2.        Sifat Nasional Material UUPA
Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas berikut.
a.     Berdasarkan hukum tanah adat;
b.     Sederhana;
c.      Menjamin kepastian hukum;
d.     Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hokum agama;
e.     Memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
f.       Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
g.     Memenuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
h.     Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang;
i.       Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
j.       Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3.        Sifat Nasional Formal UUPA
Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPAyang memenuhi sifat sebagai berikut.
a.      Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
b.      Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
c.      Dibentuk di Indonesia;4) Bersumber pada UUD 1945;
d.      Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia
4.      Tujuan UUPA
Tujuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah sebagai berikut.
a.     Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan, bagi Negara rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.   Meletakkan dasarr-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertahanan.
c.      Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2.2.1   Asas-asas hukum agraria
·         Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
·         Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)
·         Asas hukum adat
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
·         Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)
·         Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI  baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah
·         Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
·         Asas gotong royong
Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
·         Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
·         Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.


DAFTAR PUSTAKA


http://www.ilmusipil.com/macam-macam-perizinan-pada-proyek-pembangunan-gedung